EUTROFIKASI

Tuesday, November 18, 2008 comments

Krisis air yang baru-baru ini menjadi persoalan di banyak wilayah Tanah Air, jika ditelusuri lebih mendalam, ternyata jauh lebih berat dan rumit untuk ditanggulangi. Ketika faktor kekeringan diyakini menjadi faktor utama penyebab krisis air, ternyata masih ada faktor lainnya yang tidak kurang mengkhawatirkan. Di luar persoalan pencemaran lingkungan akibat limbah cair yang mengandung logam berat dan senyawa kimia lain yang bersifat karsinogenik, persoalan pencemaran lainnya adalah tingginya kasus eutrofikasi yang terjadi di banyak sumber daya air di Indonesia, dan bahkan dunia dewasa ini. Faktor pencemaran akibat aktivitas modern, baik dari praktik pertanian, peternakan, permukiman, maupun tingginya populasi manusia, menjadi sumber semakin beratnya persoalan krisis air ini.

Eutrofikasi merupakan problem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 μg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau bahkan beberapa tahun saja. Maka tidaklah mengherankan jika eutrofikasi menjadi masalah di hampir ribuan danau di muka Bumi, sebagaimana dikenal lewat fenomena algal bloom.

Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang sangat berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya.

Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini.

Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.

Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen

Lantas, berapa jumlah fosfor yang dilepaskan oleh penduduk bumi sekarang yang sudah mencapai sekitar 6,3 miliar jiwa? Jika dihitung, akan menghasilkan sebuah angka yang sangat fantastis! Ini belum termasuk fosfat yang terkandung dalam detergen yang banyak digunakan masyarakat sehari-hari. Tanpa pengelolaan limbah domestik yang baik, tentu bisa dibayangkan apa dampaknya terhadap lingkungan hidup, khususnya ekosistem air.

Berapa sebenarnya jumlah fosfor (P) yang diperlukan oleh blue-green algae (makhluk hidup air penyebab algal bloom) untuk tumbuh? Ternyata hanya dengan konsentrasi 10 part per billion (ppb/sepersatu miliar bagian) fosfor saja blue-green algae sudah bisa tumbuh. Tidak heran kalau algal bloom terjadi di banyak ekosistem air. Dalam tempo 24 jam saja populasi alga bisa berkembang dua kali lipat dengan jumlah ketersediaan fosfor yang berlebihan akibat limbah fosfat di atas.

Dewasa ini persoalan eutrofikasi tidak hanya dikaji secara lokal dan temporal, tetapi juga menjadi persoalan global yang rumit untuk diatasi sehingga menuntut perhatian serius banyak pihak secara terus-menerus. Eutrofikasi merupakan contoh kasus dari problem yang menuntut pendekatan lintas disiplin ilmu dan lintas sektoral.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin cepat, urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi dalam sedimen menuju badan air.

Di negara-negara maju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green consumers) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari-hari yang mencantumkan label phosphate free atau environmentally friendly.Negara-negara maju telah menjadikan problem eutrofikasi sebagai agenda lingkungan hidup yang harus ditangani secara serius.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tanpa mengecilkan peran badan seperti Bapedal, organisasi profesi yang berafiliasi pada lingkungan hidup, serta organisasi nonpemerintah lainnya yang memiliki perhatian terhadap aspek lingkungan hidup, perhatian terhadap problem eutrofikasi masih perlu ditingkatkan.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa eutrofikasi yang terjadi di banyak lingkungan air di muka Bumi merupakan problem global yang harus dihadapi bersama.Pemecahan problem ini di Indonesia sangat menuntut peran serta masyarakat, saintis, praktisi, dan pemerintah. Menjadi tugas mendesak bagi kita sekarang untuk menyelamatkan sumber daya air ini dari bencana eutrofikasi, serta memelihara dan mengolahnya untuk kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.

Menjadi harapan besar, tentunya, jika problem ini bisa segera diatasi dengan segenap kesadaran semua pihak. Jangan sampai kita terus menyaksikan sebuah ironi berkepanjangan, yang seolah kita ingin "mati bunuh diri" dengan terus mencemari sumber daya yang menjadi nyawa kehidupan ini. Kalau ternyata hal ini berlangsung terus, sungguh betapa nestapanya lingkungan kita dan sengsaranya manusia yang sangat bergantung padanya.

Apakah Eutrofikasi itu ?

Eutrofikasi adalah proses peningkatan laju input bahan organik ke sebuah perairan. Dalam bahasa awamnya, proses ini adalah penyuburan perairan secara berlebih yang disebabkan oleh masukan bahan organik. Salah satu akibat dari peningkatan bahan organik di sebuah perairan pesisir ini adalah terjadinya fitoplankton bloom, yaitu fenomena peledakan populasi fitoplankton di perairan secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar yang disebabkan oleh tersedianya unsur hara dalam jumlah besar.

Meledaknya populasi fitoplankton ini tentu tidak hanya disebabkan oleh ketersediaan unsur hara, namun juga oleh kombinasi faktor fisik perairan. Akan tetapi, tingginya unsur hara (utamanya nitrogen dan fosfat) adalah penyebab utama. Secara visual, perairan yang tengah mengalami fitoplankton bloom ini mengalami perubahan warna (hijau, coklat-kuning atau merah) dan dengan viskositas tinggi (kental).

Pada saat musim penghujan, masuknya air dengan kandungan bahan organik tinggi dari daratan merupakan suplai utama unsur hara bagi perkembangan fitoplankton. Dengan daur hidup yang relatif singkat, fitoplankton mampu tumbuh dalam hitungan hari, melesat mencapai jutaan sel di dalam 1 liter air.

Tingginya populasi fitoplankton di dalam air ini akan menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya. Belum lagi beberapa akibat buruk bagi lokasi pariwisata renang di lokasi terdekat. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa jenis fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik, seperti dari beberapa kelompok Dinoflagelata, yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp, dan Dinophysis spp. Dari kelompok diatom tercatat jenis Pseudonitszchia spp termasuk fitoplankton toksik.

Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton di atas adalah Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP). Jenis racun yang ada juga beragam, dari mulai Domoic Acid sampai Saxitaxin yang daya letalnya hampir 1.000 kali lebih besar dari cyanida!

Racun-racun tersebut sangat berbahaya karena di antaranya menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan. Melihat namanya, semua penyakit di atas berkaitan dengan konsumsi kerang oleh manusia. Malangnya lagi, semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai di beberapa perairan pesisir Indonesia.

Beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di perairan Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Dari hasil penelitian peneliti di Unpatti, tampak bahwa bloom fitoplankton PSP Alexandrium spp rutin terjadi di Teluk Ambon. Namun, karena sistem kearsipan data yang masih jauh dari memadai, berbagai kejadian fatal yang diakibatkan oleh fitoplankton beracun tidak tercatat.

Di beberapa negara maju, bloom fitoplankton ini mendapat prioritas penanganan, mengingat dampak kerugiannya. Konsultasi publik tentang berbahayanya efek dari fitoplankton beracun merupakan hal biasa di sana. Kerugian ribuan dollar AS telah mereka alami karena kematian massal ikan, penyakit, dan penutupan areal pariwisata karena bloom fitoplankton ini.

comments